MAKALAH TENTANG ASIMILASI BUDAYA
MATA KULIAH ILMU BUDAYA DASAR
PENYUSUN : SHASKIA DWI LESTARI
KELAS : 1PA08
NPM : 16515524
BUDAYA ANTRI DI INDONESIA DAN JEPANG
A.
Pendahuluan
Di
indonesia banyak terjadi percampuran budaya dengan budaya-budaya asing dan
budaya agama yang mulai masuk perlahan-lahan ke Indonesia. Percampuran Budaya
di Indonesia terjadi karena adanya asimilasi. Asimilasi adalah proses
masuknya kebudayaan baru yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif,
sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan itu masing-masing berubah
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Di
Indonesia kita dapat temukan berbagai macam bentuk percampuran budaya. Bentuk
percampuran budayanya sebagai berikut :
Seni
Bangunan
Seni
bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli
bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan
akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan
zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh
Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam
benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi
sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha,
hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah
ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni
Berpakaian
Pakaian
Adat Betawi, orang Betawi pada umumnya mengenal beberapa macam pakaian. Namun
yang lazim dikenakan adalah pakaian adat berupa tutup kepala (destar) dengan
baju jas yang menutup leher (jas tutup) yang digunakan sebagai stelan celana
panjang Melengkapi pakaian adat pria Betawi ini, selembar kain batik dilingkari
pada bagian pinggang dan sebilah belati diselipkan di depan perut. Para wanita
biasanya memakai baju kebaya, selendang panjang yamg menutup kepala serta kain
batik. Pada pakaian pengantin, terlihat hasil proses asimilasi dart berbagai
kelompok etnis pembentuk masyarakat Betawi. Pakaian yang digunakan pengantin
pria, yang terdiri dari: sorban, jubah panjang dan celana panjang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Sedangkan pada pakaian pengantin wanita yang
menggunakan syangko (penutup muka), baju model encim dan rok panjang
memperlihatkan adanya pengaruh kebudayaan Cina Uniknya, terompah (alas kaki)
yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita dipengaruhi oleh kebudayaan Arab.
Seni
Tarian
Tari
Betawi. Sejak dulu orang Betawi tinggal di berbagai wilayah Jakarta. Ada yang
tinggal di pesisir, di tengah kota dan pinggir kota. Perbedaan tempat tinggal
menyebabkan perbedaan kebiasaan dan karakter. Selain itu interaksi dengan suku
bangsa lain memberi ciri khas bagi orang Betawi. Tari yang diciptakanpun
berbeda. Interaksi orang Betawi dengan bangsa Cina tercipta tari cokek, lenong,
dan gambang kromong.
Adat
Kebiasaan
Tradisi
membagi rezeki saat hari raya sebenarnya terjadi karena proses akulturasi
budaya Tionghoa dengan Islam. Memberi dengan ketulusan hati merupakan bagian
luhur dari menjalankan kewajiban sebagai manusia. Dan lebih indah lagi jika
segala kebajikan dilakukan di hari raya. Menjalankan tradisi tentu merupakan
bagian dari kebajikan. Tradisi yang diwariskan leluhur sejatinya tetap
dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai moral yang bertujuan baik. Salah
satu tradisi Lebaran yang tak kalah populer adalah berbagi rezeki.
B.
Isi
Yang
menarik disimak adalah mengenai budaya antri. Saya rasa semua orang juga sudah
paham apa yang dimaksud dengan antri. Budaya tertib dalam menunggu giliran. Kurang
lebih seperti itulah artinya. Antri, sesungguhnya adalah hal paling sederhana,
hal yang sebenarnya paling mudah untuk dilaksanakan. Tidak memerlukan biaya dan
tidak membutuhkan pelatihan khusus. Hanya kesabaran dan kemauan untuk
mendahulukan kepentingan umum. Antri juga mencerminkan seperti apa watak dan
perilaku yang dimiliki seseorang, yang secara keseluruhan akan mencerminkan
seperti apa watak dan perilaku suatu bangsa. Ada suatu kejadian unik yang saya
alami siang ini, saat kebetulan saya berbelanja di salah satu minimart yang ada
di JMU. Dan karena tugas yang mendesak untuk diselesaikan, akhirnya saya baru
bisa berbelanja sekitar pukul 12.30, disaat kantin dan minimart menjadi tempat
yang dipenuhi oleh para tenaga medis dan keluarga pasien JMU, dan disaat waktu
istirahat tinggal menyisakan setengah jam lagi. Hal yang menarik dan membuat
saya terkagum-kagum adalah, budaya antri yang diterapkan oleh masyarakat
jepang. Tidak ada seorang pun yang berebut memotong barisan untuk membayar di
kasir. Walaupun antrian begitu panjang ke belakang, semuanya begitu tertib
untuk mengantri menunggu giliran. Padahal saya yakin kalau sebenarnya mereka
juga butuh secepatnya menyelesaikan pembayaran di kasir, untuk kemudian kembali
ke aktivitas masing-masing. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang
pernah saya alami di Indonesia. Sangat jarang saya jumpai ada suatu barisan
antrian membentuk garis lurus ke belakang, untuk mengantri pembayaran di kasir
ataupun untuk pengantrian pengambilan jatah sembako misalnya. Kalaupun ada
antrian, itupun karena ada pagar pembatas, dan antrian hanya berlangsung
singkat. Setelah itu, barisan kembali kacau. Semua orang ingin berebut dengan
alasan yang sama, sama-sama ingin selesai lebih dulu.
Masalah
apakah yang ikut mengantri adalah orang lansia, atau ibu-ibu hamil, itu masalah
belakangan. Sampai-sampai, dibutuhkan bantuan tenaga khusus untuk mengatur
barisan. Sehingga menjadi tidak ada bedanya dengan anak-anak di taman
kanak-kanak yang ingin berebut mainan baru. Hal seperti inipun tidak jarang,
kalau boleh dibilang sangat sering kita temui di jalan raya. Saat lampu merah,
semua berebut ingin mengambil posisi di depan. Walaupun berhenti di wilayah
kendaraan yang berlainan arah. Seakan semua sudah pasrah dan tidak berdaya
untuk minimal sekedar menegur. Semua seperti sudah mahfum, bahwa memang seperti
itulah adanya. Entah mengapa, hal seperti ini tidak pernah saya temukan selama
saya menetap di jepang. Semua begitu tertib mengantri saat lampu merah. Apakah
mau dibilang “lebay” atau tidak, tapi bahkan saya tidak pernah mendengar bunyi
klakson mobil. Semua kendaraan yang ada di belakang sabar menunggu kendaraan
yang ada di depan untuk maju terlebih dahulu. Satu contoh unik, saat terjadi
bencana gempa (11 Maret 2011) yang memakan ribuan korban jiwa, meluluh
lantakkan kota fukushima dan sekitarnya. Bantuan pun datang dari seluruh
penjuru dunia, seperti obat-obatan ataupun makanan. Yang menarik adalah
bagaimana budaya antri yang diterapkan masayarakat jepang dalam pengambilan
jatah makanan. Tidak ada pembatas, tidak ada petugas khusus pengatur antrian.
Hanya kesadaran dari diri masing-masing untuk tertib dan teratur menunggu
giliran. Padahal dengan kondisi pasca bencana seperti itu, tidak akan ada yang
heran kalau semua ingin berebut jatah makanan. Sekali lagi, Jepang menunjukkan
bagaimana cerminan sebuah bangsa yang bermartabat. Ini belum termasuk budaya
hidup bersih, membuang sampah pada tempatnya, santun, dan lain-lain. Padahal
jepang bukanlah negara agamis. Kebanyakan masyarakat jepang bahkan tidak
memiliki agama, tapi mereka justru menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam
agama. Indonesia, dengan populasi penduduk beragama yang luar biasa besar,
harusnya lebih ahli dalam menerapkan nilai- nilai agama. Terkadang pengajian
agama begitu seringnya dilaksanakan, rutin beberapa kali dalam seminggu.
Event-event untuk mencari para calon pemuka agama pun ibarat bak jamur di musim
hujan.
Menandakan
begitu banyaknya orang yang agamis. Tapi memang menyedihkan rasanya, perilaku
dan mental negatif tidak pernah bisa berubah. Tidak perlulah dulu membahas
perilaku yang sangat tidak terpuji, seperti korupsi misalnya. kita mulailah
dari antri, hal terkecil yang bahkan belum bisa kita terapkan dengan baik.
Terlalu jauh rasanya kalau kita mau membandingkan antara jepang dengan
Indonesia. Kita sudah tertinggal begitu jauhnya. Namun demikian, hal ini tetap
tidak mengurangi rasa cinta terhadap tanah air. Marilah kita semua belajar
untuk berubah ke arah yang lebih baik, minimal dari hal-hal kecil. Semoga budaya
gyoretsu (antri) yang diperlihatkan masyarakat jepang, bisa menjadi contoh bagi
kita semua, bahwa bangsa yang bermartabat, tercermin dari perilaku yang
diperlihatkan oleh masyarakatnya sendiri.
Selain
itu ada budaya jujur, dalam keseharian masyarakat Jepang, kita akan merasakan
bagaimana prilaku jujur itu teraplikasi dengan baik. Saat berbelanja kita tidak
perlu khawatir akan ditipu oleh si penjual, baik dalam hal kualitas dan
kuantitas barang. Saat menggunakan transportasi umum seperti kereta api atau
bis, kita tidak perlu khawatir akan hilangnya barang milik kita seperti dompet
dan telepon genggam. Suatu peristiwa yang membuat saya kagum akan kejujuran bangsa
Jepang pernah saya alami. Suatu ketika teman saya pernah ketinggalan dompet di
salah satu lokasi stand pameran otomotif di Tokyo. Kami pun bergegas kembali ke
lokasi stand tersebut. Ternyata dompet teman saya masih terletak di sebuah meja
dengan posisi yang sama saat teman saya meletakkan dompetnya. Berarti tidak ada
seorangpun yang menyentuh dompet itu, meskipun sudah lebih dari sejam dompet
itu tertinggal, padahal di sekitar meja tersebut terdapat banyak pengunjung
lainnya. Memang sudah menjadi budaya di Jepang, bahwa masyarakatnya tidak akan
menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Seandainya pun ada yang
mengambil, akan diserahkan ke pos polisi terdekat. Jadi apabila kita mengalami
kehilangan barang, biasanya kita akan dapat menemukannya kembali dengan
menelusuri lokasi yang pernah kita lewati, atau menanyakan ke pos polisi
terdekat disekitaran lokasi hilangnya barang tersebut.
Disiplin
Perilaku
disiplin bangsa Jepang dapat tercermin diantaranya dengan budaya antri dan
kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Di Jepang kita akan sering menjumpai
masyarakat yang sedang mengantri dengan tertib, seperti antrian penumpang bis,
kereta api, dan antrian saat hendak makan siang di sebuah rumah makan. Semua
orang baik anak-anak maupun manula akan mengikuti antrian dengan tertib, tidak
ada yang minta didahulukan dengan alasan usia atau apapun juga. Dalam hal
kepatuhan terhadap peraturan, sikap disiplin masyarakat Jepang contohnya dapat
dilihat dari cara membuang sampah. Di Jepang setiap harinya telah diatur jadwal
jenis sampah yang akan diangkut oleh mobil sampah, misalnya hari Senin untuk
sampah daur ulang dan Selasa untuk sampah yang bisa dibakar. Masyarakat dengan
tertibnya akan memilah-milah jenis sampah dan membuangnya sesuai dengan jadwal
yang telah ditetapkan.
Kebersihan
Kebersihan
sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang. Kebersihan di jalan,
pasar, dan kendaraan umum, terpelihara dengan baik setiap hari. Saat
beraktivitas di luar rumah kita tidak perlu khawatir apabila ingin membuang air
kecil/besar, karena seluruh toilet umum yang tersebar di stasiun, taman,
bandara dan tempat umum lainnya dapat kita nikmati dengan nyaman dan bersih.
Sudah menjadi suatu aturan tak tertulis di Jepang bahwa setelah kita
menggunakan toilet, maka kondisi kebersihan toilet harus tetap kering dan
bersih, sebagaimana kondisi toilet sebelum kita gunakan. Hal ini dilakukan agar
orang yang akan menggunakan toilet setelah kita, dapat merasakan kenyamanan dan
kebersihan seperti yang kita rasakan.
Sabar
Selama
7 bulan tinggal di Tokyo, sangat jarang saya melihat orang Jepang yang marah
atau emosi terhadap sesuatu hal, apalagi sampai timbulnya perkelahian. Tidak
ada supir angkutan yang berteriak dengan makian, tidak ada orang yang marah
karena badannya tersenggol oleh orang lain saat di kereta api. Bahkan pernah
suatu ketika saya melihat 2 mobil taksi bertabrakan di sebuah lampu merah di
Tokyo. Kedua supir taksi tersebut lalu keluar dari mobilnya masing-masing dan
saling berbicara dengan sopan dan suara yang lembut. Selanjutnya salah satu
supir taksi menelpon polisi, yang tidak lama kemudian petugas polisi datang dan
menyelesaikan permasalahan ini sesuai ketentuan.
Bersyukur
dan ikhlas
Orang
Jepang senantiasa mensyukuri segala sesuatu yang telah dimilikinya. Inilah yang
membuat masyarakat Jepang dalam bekerja selalu penuh semangat, ikhlas, dan
terlihat menikmati pekerjaannya , apapun jenis pekerjaannya. Pelayan toko,
supir bis, petugas parkir, cleaning service, mereka semua saya perhatikan
melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Tidak terlihat kesusahan di raut
wajah mereka, meskipun mungkin saat itu mereka sedang menghadapi permasalahan
ekonomi. Bagi pekerja seperti mereka, biaya hidup di Tokyo yang merupakan kota
termahal di dunia pastilah cukup berat dirasakan, karena umumnya gaji mereka
sebesar standar upah minimum. Saya ianpernah menanyakan kepada seorang wanita
petugas cleaning service di gedung perkantoran tempat saya bekerja, namanya
Tatsuno Kimiki. Saya bertanya kepadanya mengapa dalam bekerja setiap harinya,
dia selalu terlihat gembira dan bersemangat. Wanita itu menjawab bahwa dia
sangat senang, menikmati, serta mensyukuri pekerjaannya, sehingga dia
melakukannya dengan ikhlas dan bersungguh, meskipun gaji yang diterimanya
tidaklah seberapa.
Toleransi
Mengemudikan
kendaraan di Tokyo bagi saya sangat menyenangkan. Hal ini selain dikarenakan
kepatuhan pengguna jalan terhadap lalu lintas, juga ditambah lagi dengan rasa
pengertian dan toleransi sesama pengguna jalan. Suara klakson mobil bisa
dikatakan hampir tidak pernah terdengar, karena semua pengendara selalu
bertoleransi sesama. Sebagai contoh saat saya akan berpindah lajur jalan, maka
dengan segera pengendara lain yang berada di lajur tersebut akan berhenti atau
mengurangi kecepatan kendaraannya untuk memberikan saya kesempatan berpindah
lajur. Sikap toleransi masyarakat Jepang lainnya juga terlihat saat kita
menggunakan kendaraan umum seperti bis atau kereta api. Semua penumpang akan
menonaktifkan nada (silent) telepon genggamnya, dan menghindari berbicara di
telepon kecuali bila mendesak. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu
ketenangan penumpang lainnya.
BUDAYA ANTRI DI NEGARA KITA
Marilah kita melihat sejenak
ke bangsa kita. Sudahkah kita menerapkan budaya antri yang baik? Saya rasa
semua sepakat menjawab: Belum. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan
kebobrokan budaya antri kita. Contoh yang paling sering kita jumpai dan hampir
ada setiap tahun adalah ketika hari Idul Adha ketika pembagian jatah hewan
kurban. Selalu dan tidak pernah tidak terjadi kericuhan. Akibatnya banyak warga
yang terluka dan bahkan tidak jarang ada yang tewas. Contoh paling anyar adalah
ketika antri tiket final sepakbola SEA Games 2011 yang terjadi kericuhan hingga
menyebabkan korban tewas 2 orang karena terinjak-injak.
Budaya antri di Indonesia
seperti sebuah kebalikan dari budaya antri di luar negeri, khususnya bangsa
barat dan bangsa Jepang. Di negara kita tercinta ini, kecurangan dan egoisme
seperti sudah mendarah daging. Dapat kita ambil contoh di kehidupan
sehari-hari, ketika di pasar misalnya, ketika kita membeli sayuran kemudian ada
ibu-ibu yang menerobos sambil menjulurkan uangnya kepada penjual, dan biasanya
sambil berkata, “Tulung diselakne dhisik” atau dalam bahasa Indonesia-nya,
“Tolong didahulukan”. Hal semacam ini telah mengakar kuat pada warga Indonesia.
Contoh yang saya berikan diatas adalah contoh cara paling sopan menerobos
antrian. Bisa dibayangkan betapa bobroknya budaya antri yang kita miliki. Hal
ini diperparah dengan kenyataan bahwa seolah-olah mereka(orang yang suka
menerobos antrian) bangga dengan “kemampuan” yang mereka miliki. Bahkan tidak
sedikit pula yang mengajarkan cara-cara menerobos dan mengacaukan antrian
kepada anak-anak mereka.
Padahal menurut kami budaya antri adalah
budaya yang semestinya dijunjung tinggi oleh setiap individu, setiap lapisan
masyarakat di suatu negara. Andai saja mereka paham dan mengetahui bahwa prinsip-prinsip
budaya antri dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat memberikan efek
yang luar biasa positif bagi suatu bangsa. Budaya antri yang telah mengakar
tentu memiliki nilai yang sangat berharga, oleh karena itu besar harapan kami
agar bangsa ini mampu mengubah ke-iri-annya dan kekagumannya terhadap bangsa
barat menjadi sebuah cambuk dan motivasi untuk menerapkan dan menjalankan
prinsip budaya antri di kehidupan sehari-hari. Dengan ditandai tertibnya antri
dan bebas dari kericuhan maka Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tahu
norma dan memiliki kebersamaan serta sosial yang besar.
Memang tidak mudah untuk
mengajak masyarakat dan mengubah pola pikirnya terhadap budaya antri, khususnya
di Indonesia. Mereka terlanjur beranggapan negatif terhadap kata ANTRI.
Kebanyakan mereka berpendapat bahwa antri adalah hal yang tidak mengenakkan,
membosankan dan membuang-buang waktu. Memang mereka ada benarnya juga karena
hal-hal itulah yang juga akan kita temui dalam antrian.
Namun disini poin utamanya
adalah sikap kita dalam menghadapi problem-problem dalam antrian itu. Bagaimana
kita mengatur pikiran, mengendalikan emosi, dan memakai kecerdasan untuk
menempatkan diri sesuai dengan tempatnya. Hal-hal inilah yang menunjang
nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam antri.
ASPEK-ASPEK BUDAYA ANTRI
ASPEK-ASPEK BUDAYA ANTRI
Terdapat alasan yang kuat
mengapa budaya antri yang baik di negara-negara maju, khususnya negara barat
dan Jepang dapat membuat kagum bangsa lain. Hal itu dikarenakan tidak lain
karena terdapat aspek-aspek istimewa yang terkandung dalam budaya antri
tersebut. Aspek-aspek dalam budaya antri tersebut menunjang kemajuan pola pikir
dan kemajuan kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa.
Dalam budaya antri mengandung aspek kedisiplinan. Tentu saja dalam antri kita dituntut bersikap disiplin. Tidak ragu terhadap keputusannya dan mantap menjalani antrian. Aspek kedisiplinan juga ditunjang dengan aspek tanggung jawab. Artinya orang antri harus dapat mempertanggungjawabkan posisinya. Mampu mempertahankan posisi dan berusaha keluar dari pengaruh buruk yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Selain kedisiplinan dan tanggung jawab, budaya antri juga mengajari kita menjadi dewasa.
Dalam budaya antri mengandung aspek kedisiplinan. Tentu saja dalam antri kita dituntut bersikap disiplin. Tidak ragu terhadap keputusannya dan mantap menjalani antrian. Aspek kedisiplinan juga ditunjang dengan aspek tanggung jawab. Artinya orang antri harus dapat mempertanggungjawabkan posisinya. Mampu mempertahankan posisi dan berusaha keluar dari pengaruh buruk yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Selain kedisiplinan dan tanggung jawab, budaya antri juga mengajari kita menjadi dewasa.
Dewasa dalam arti kita
dibimbing untuk berpikir bahwa masalah tidak benar-benar selesai dengan jalan
curang. Kita dipaksa berpikir dewasa bahwa dengan sedikit menunggu dan sedikit
belajar, pasti akan datang juga waktunya bagi kita. Dengan kata lain, belajar
menjadi dewasa sama dengan memajukan pola pikir dan intelegensi. Dengan budaya
antri kita dapat memahami bahwa dengan menyatukan pola pikir maka kita akan
dapat membangun pondasi yang kuat untuk Indonesia yang sejahtera.
Selain itu aspek yang
lainnya adalah respek. Dalam budaya antri kita diajari untuk toleransi terhadap
yang lainnya. Kita harus belajar respek. Dengan adanya respek maka akan muncul
perasaan iba dengan penderitaan orang lain. Dengan toleransi maka akan tumbuh
perasaan saling memahami bahwa semua dihadapkan dalam kondisi yang sama. Dengan
respek pula kita dapat menilai bahwa dengan antrian yang baik maka proses
menggapai tujuan akan berjalan lancar.
Apabila membicarakan budaya antri maka terasa kurang apabila tidak membahas kesabaran. Antri sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Orang yang tidak mau antri maka dapat dikatakan dia orang yang tidak sabar. Dalam hal ini tidak sabar dapat disebabkan oleh berbagai alasan, mungkin karena situasi pikiran yang kondusif, namun bisa juga karena memang sedang dikejar-kejar waktu dan dalam jadwal yang padat.
Apabila membicarakan budaya antri maka terasa kurang apabila tidak membahas kesabaran. Antri sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Orang yang tidak mau antri maka dapat dikatakan dia orang yang tidak sabar. Dalam hal ini tidak sabar dapat disebabkan oleh berbagai alasan, mungkin karena situasi pikiran yang kondusif, namun bisa juga karena memang sedang dikejar-kejar waktu dan dalam jadwal yang padat.
Namun yang pasti orang-orang
semacam itu tidak dapat mengendalikan pikiran dan emosinya sehingga mendapat
kesan selalu terburu-buru. Dan orang seperti adalah orang yang paling tidak
suka melakukan budaya antri. Dan akibatnya akan timbul pemikiran-pemikiran
jahat dan menyebabkan kerusakan-kerusakan barisan antrian dan lain sebagainya. Banyak
sekali aspek atau nilai yang dapat kita ambil dari budaya antri. Namun nilai
utama dan yang paling utama adalah bahwa budaya antri mengajari kita tentang
PERSAMAAN. Budaya antri tidak mengenal gender, jabatan, agama, ras atau warna
kulit. Budaya antri membuka mata kita bahwa semua orang itu sama, memiliki hak
dan kewajiban untuk memperoleh sesuatu, tidak peduli latar belakangnya. Sikap
menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan inilah yang sangat jarang
kita temui di negeri tercinta ini.
Di Indonesia masih banyak
orang gila akan harta, gila akan jabatan, gila akan kesenangan dunia yang lain.
Mereka lupa dan mengabaikan orang-orang di sekelilingnya, bahwa orang-orang itu
juga memiliki hak yang sama meskipun tidak memiliki kesempatan yang sama.
Mereka seakan-akan menganggap kasta itu bagian penting dalam kehidupan.
Sehingga mereka, orang Indonesia, memuja-muja jabatan.
Mencari segala cara agar dapat mendapatkan jabatan yang tinggi. Itu semua dikarenakan timpangnya budaya antri di Indonesia. Mereka menganggap rendah lain, dan berpikir bahwa dengan jabatan yang tinggi dapat memperoleh apa yang diinginkan lebih mudah daripada orang lain.
Mencari segala cara agar dapat mendapatkan jabatan yang tinggi. Itu semua dikarenakan timpangnya budaya antri di Indonesia. Mereka menganggap rendah lain, dan berpikir bahwa dengan jabatan yang tinggi dapat memperoleh apa yang diinginkan lebih mudah daripada orang lain.
Selain mengajari kita
pentingnya memahami persamaan, budaya antri mengajari kita STEP BY STEP.
Artinya bahwa dengan antri kita dapat memahami bahwa untuk menggapai sebuah tujuan
tidak bisa secara instan.
“Kita bangsa Indonesia itu
punya sifat penerobos, maunya cepat.”Mochtar Lubis. Dalam sebuah antrian ada
orang yang berada didepan dan juga berada di belakang. Dalam hidup kita harus
melalui rintangan demi rintangan, sedikit demi sedikit, dan dengan kesabaran
dan ketekunan yang baik maka kita akan dapat meraih tujuan yang kita inginkan.
Namun jangan lupa bahwa ada orang dibelakang kita. Artinya bahwa ada orang yang
memiliki hak yang sama namun belum memperoleh kesempatan yang sama dengan kita.
Jadi dalam budaya antri kita diajari bahwa perjalanan kehidupan adalah sebuah
proses step by step, bit by bit and little by little.
C.
KESIMPULAN
MARILAH BUDAYAKAN
ANTRI
Perlu adanya kesepakatan
bersama dalam membudayakan antri di negara-negara berkembang seperti di
Indonesia. Perlu sosok atau sekelompok yang punya pengaruh kuat di setiap
lapisan masyarakat utamanya lapisan bawah untuk melestarikan budaya antri di
lingkungan masyarakat. Mengingat sangat sulitnya menyadarkan seseorang terhadap
sesuatu yang telah mengakar dan tertanam dalam di dalam pola pikir manusia,
maka kami menyimpulkan bahwa untuk melestarikan budaya antri di Indonesia
seperti halnya di negara Barat sangat sulit sehingga tidak dapat secara instan.
Hal ini dalam dilakukan bertahap dan tidak terburu-buru asalkan sesuai dengan
tujuan.
Dalam menggerakkan budaya
antri, peran pendidik maupun calon-calon pendidik dapat dimaksimalkan mengingat
masa depan bangsa Indonesia juga sangat dipengaruhi kualitas pendidik di negara
ini. Pendidik harus menanamkan budaya antri dalam dirinya terlebih dahulu
sebelum menanamkan budaya antri pada peserta didiknya. Dengan memberikan contoh
tindakan yang nyata maka akan sangat efektif memberikan pengajaran pada peserta
didik pentingnya memiliki aspek-aspek budaya antri.
Queuing culture has become one of the strengths of the western nations and Japan. Therefore, it is important to us as Indonesian people, to imitate and promote the culture of the queue. Culture of queuing contains a very positive value for the social life of a nation. One of them is to teach us about the importance of living in an EQUALITY. In addition, the culture of queuing also gives us a philosophy of life, that in order to achieve a success it must be step by step, can not instantaneously.
Queuing culture has become one of the strengths of the western nations and Japan. Therefore, it is important to us as Indonesian people, to imitate and promote the culture of the queue. Culture of queuing contains a very positive value for the social life of a nation. One of them is to teach us about the importance of living in an EQUALITY. In addition, the culture of queuing also gives us a philosophy of life, that in order to achieve a success it must be step by step, can not instantaneously.
To bring the culture of
queuing up to Indonesia then need some way. One is through a person or group
who has a strong influence in society. This can be achieved through the
educators in Indonesia. They are responsible for the nation's future. But the
best way is to improve yourself. Culture of queuing has many benefits for human
progress, because of it, let's start from now to civilize the queuing.