Friday, November 20, 2015

Ilmu Budaya Dasar




MAKALAH TENTANG ASIMILASI BUDAYA
MATA KULIAH ILMU BUDAYA DASAR







PENYUSUN : SHASKIA DWI LESTARI
KELAS : 1PA08
NPM : 16515524

BUDAYA ANTRI DI INDONESIA DAN JEPANG

A.   Pendahuluan
Di indonesia banyak terjadi percampuran budaya dengan budaya-budaya asing dan budaya agama yang mulai masuk perlahan-lahan ke Indonesia. Percampuran Budaya di Indonesia terjadi karena adanya asimilasi. Asimilasi adalah proses masuknya kebudayaan baru yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.  
Di Indonesia kita dapat temukan berbagai macam bentuk percampuran budaya. Bentuk percampuran budayanya sebagai berikut :

Seni Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha, hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.

Seni Berpakaian
Pakaian Adat Betawi, orang Betawi pada umumnya mengenal beberapa macam pakaian. Namun yang lazim dikenakan adalah pakaian adat berupa tutup kepala (destar) dengan baju jas yang menutup leher (jas tutup) yang digunakan sebagai stelan celana panjang Melengkapi pakaian adat pria Betawi ini, selembar kain batik dilingkari pada bagian pinggang dan sebilah belati diselipkan di depan perut. Para wanita biasanya memakai baju kebaya, selendang panjang yamg menutup kepala serta kain batik. Pada pakaian pengantin, terlihat hasil proses asimilasi dart berbagai kelompok etnis pembentuk masyarakat Betawi. Pakaian yang digunakan pengantin pria, yang terdiri dari: sorban, jubah panjang dan celana panjang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Sedangkan pada pakaian pengantin wanita yang menggunakan syangko (penutup muka), baju model encim dan rok panjang memperlihatkan adanya pengaruh kebudayaan Cina Uniknya, terompah (alas kaki) yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita dipengaruhi oleh kebudayaan Arab.

 Seni Tarian
Tari Betawi. Sejak dulu orang Betawi tinggal di berbagai wilayah Jakarta. Ada yang tinggal di pesisir, di tengah kota dan pinggir kota. Perbedaan tempat tinggal menyebabkan perbedaan kebiasaan dan karakter. Selain itu interaksi dengan suku bangsa lain memberi ciri khas bagi orang Betawi. Tari yang diciptakanpun berbeda. Interaksi orang Betawi dengan bangsa Cina tercipta tari cokek, lenong, dan gambang kromong.

Adat Kebiasaan
Tradisi membagi rezeki saat hari raya sebenarnya terjadi karena proses akulturasi budaya Tionghoa dengan Islam. Memberi dengan ketulusan hati merupakan bagian luhur dari menjalankan kewajiban sebagai manusia. Dan lebih indah lagi jika segala kebajikan dilakukan di hari raya. Menjalankan tradisi tentu merupakan bagian dari kebajikan. Tradisi yang diwariskan leluhur sejatinya tetap dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai moral yang bertujuan baik. Salah satu tradisi Lebaran yang tak kalah populer adalah berbagi rezeki.

B.   Isi
Yang menarik disimak adalah mengenai budaya antri. Saya rasa semua orang juga sudah paham apa yang dimaksud dengan antri. Budaya tertib dalam menunggu giliran. Kurang lebih seperti itulah artinya. Antri, sesungguhnya adalah hal paling sederhana, hal yang sebenarnya paling mudah untuk dilaksanakan. Tidak memerlukan biaya dan tidak membutuhkan pelatihan khusus. Hanya kesabaran dan kemauan untuk mendahulukan kepentingan umum. Antri juga mencerminkan seperti apa watak dan perilaku yang dimiliki seseorang, yang secara keseluruhan akan mencerminkan seperti apa watak dan perilaku suatu bangsa. Ada suatu kejadian unik yang saya alami siang ini, saat kebetulan saya berbelanja di salah satu minimart yang ada di JMU. Dan karena tugas yang mendesak untuk diselesaikan, akhirnya saya baru bisa berbelanja sekitar pukul 12.30, disaat kantin dan minimart menjadi tempat yang dipenuhi oleh para tenaga medis dan keluarga pasien JMU, dan disaat waktu istirahat tinggal menyisakan setengah jam lagi. Hal yang menarik dan membuat saya terkagum-kagum adalah, budaya antri yang diterapkan oleh masyarakat jepang. Tidak ada seorang pun yang berebut memotong barisan untuk membayar di kasir. Walaupun antrian begitu panjang ke belakang, semuanya begitu tertib untuk mengantri menunggu giliran. Padahal saya yakin kalau sebenarnya mereka juga butuh secepatnya menyelesaikan pembayaran di kasir, untuk kemudian kembali ke aktivitas masing-masing. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang pernah saya alami di Indonesia. Sangat jarang saya jumpai ada suatu barisan antrian membentuk garis lurus ke belakang, untuk mengantri pembayaran di kasir ataupun untuk pengantrian pengambilan jatah sembako misalnya. Kalaupun ada antrian, itupun karena ada pagar pembatas, dan antrian hanya berlangsung singkat. Setelah itu, barisan kembali kacau. Semua orang ingin berebut dengan alasan yang sama, sama-sama ingin selesai lebih dulu.
Masalah apakah yang ikut mengantri adalah orang lansia, atau ibu-ibu hamil, itu masalah belakangan. Sampai-sampai, dibutuhkan bantuan tenaga khusus untuk mengatur barisan. Sehingga menjadi tidak ada bedanya dengan anak-anak di taman kanak-kanak yang ingin berebut mainan baru. Hal seperti inipun tidak jarang, kalau boleh dibilang sangat sering kita temui di jalan raya. Saat lampu merah, semua berebut ingin mengambil posisi di depan. Walaupun berhenti di wilayah kendaraan yang berlainan arah. Seakan semua sudah pasrah dan tidak berdaya untuk minimal sekedar menegur. Semua seperti sudah mahfum, bahwa memang seperti itulah adanya. Entah mengapa, hal seperti ini tidak pernah saya temukan selama saya menetap di jepang. Semua begitu tertib mengantri saat lampu merah. Apakah mau dibilang “lebay” atau tidak, tapi bahkan saya tidak pernah mendengar bunyi klakson mobil. Semua kendaraan yang ada di belakang sabar menunggu kendaraan yang ada di depan untuk maju terlebih dahulu. Satu contoh unik, saat terjadi bencana gempa (11 Maret 2011) yang memakan ribuan korban jiwa, meluluh lantakkan kota fukushima dan sekitarnya. Bantuan pun datang dari seluruh penjuru dunia, seperti obat-obatan ataupun makanan. Yang menarik adalah bagaimana budaya antri yang diterapkan masayarakat jepang dalam pengambilan jatah makanan. Tidak ada pembatas, tidak ada petugas khusus pengatur antrian. Hanya kesadaran dari diri masing-masing untuk tertib dan teratur menunggu giliran. Padahal dengan kondisi pasca bencana seperti itu, tidak akan ada yang heran kalau semua ingin berebut jatah makanan. Sekali lagi, Jepang menunjukkan bagaimana cerminan sebuah bangsa yang bermartabat. Ini belum termasuk budaya hidup bersih, membuang sampah pada tempatnya, santun, dan lain-lain. Padahal jepang bukanlah negara agamis. Kebanyakan masyarakat jepang bahkan tidak memiliki agama, tapi mereka justru menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama. Indonesia, dengan populasi penduduk beragama yang luar biasa besar, harusnya lebih ahli dalam menerapkan nilai- nilai agama. Terkadang pengajian agama begitu seringnya dilaksanakan, rutin beberapa kali dalam seminggu. Event-event untuk mencari para calon pemuka agama pun ibarat bak jamur di musim hujan.
Menandakan begitu banyaknya orang yang agamis. Tapi memang menyedihkan rasanya, perilaku dan mental negatif tidak pernah bisa berubah. Tidak perlulah dulu membahas perilaku yang sangat tidak terpuji, seperti korupsi misalnya. kita mulailah dari antri, hal terkecil yang bahkan belum bisa kita terapkan dengan baik. Terlalu jauh rasanya kalau kita mau membandingkan antara jepang dengan Indonesia. Kita sudah tertinggal begitu jauhnya. Namun demikian, hal ini tetap tidak mengurangi rasa cinta terhadap tanah air. Marilah kita semua belajar untuk berubah ke arah yang lebih baik, minimal dari hal-hal kecil. Semoga budaya gyoretsu (antri) yang diperlihatkan masyarakat jepang, bisa menjadi contoh bagi kita semua, bahwa bangsa yang bermartabat, tercermin dari perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakatnya sendiri.
Selain itu ada budaya jujur, dalam keseharian masyarakat Jepang, kita akan merasakan bagaimana prilaku jujur itu teraplikasi dengan baik. Saat berbelanja kita tidak perlu khawatir akan ditipu oleh si penjual, baik dalam hal kualitas dan kuantitas barang. Saat menggunakan transportasi umum seperti kereta api atau bis, kita tidak perlu khawatir akan hilangnya barang milik kita seperti dompet dan telepon genggam. Suatu peristiwa yang membuat saya kagum akan kejujuran bangsa Jepang pernah saya alami. Suatu ketika teman saya pernah ketinggalan dompet di salah satu lokasi stand pameran otomotif di Tokyo. Kami pun bergegas kembali ke lokasi stand tersebut. Ternyata dompet teman saya masih terletak di sebuah meja dengan posisi yang sama saat teman saya meletakkan dompetnya. Berarti tidak ada seorangpun yang menyentuh dompet itu, meskipun sudah lebih dari sejam dompet itu tertinggal, padahal di sekitar meja tersebut terdapat banyak pengunjung lainnya. Memang sudah menjadi budaya di Jepang, bahwa masyarakatnya tidak akan menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Seandainya pun ada yang mengambil, akan diserahkan ke pos polisi terdekat. Jadi apabila kita mengalami kehilangan barang, biasanya kita akan dapat menemukannya kembali dengan menelusuri lokasi yang pernah kita lewati, atau menanyakan ke pos polisi terdekat disekitaran lokasi hilangnya barang tersebut.
Disiplin
Perilaku disiplin bangsa Jepang dapat tercermin diantaranya dengan budaya antri dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Di Jepang kita akan sering menjumpai masyarakat yang sedang mengantri dengan tertib, seperti antrian penumpang bis, kereta api, dan antrian saat hendak makan siang di sebuah rumah makan. Semua orang baik anak-anak maupun manula akan mengikuti antrian dengan tertib, tidak ada yang minta didahulukan dengan alasan usia atau apapun juga. Dalam hal kepatuhan terhadap peraturan, sikap disiplin masyarakat Jepang contohnya dapat dilihat dari cara membuang sampah. Di Jepang setiap harinya telah diatur jadwal jenis sampah yang akan diangkut oleh mobil sampah, misalnya hari Senin untuk sampah daur ulang dan Selasa untuk sampah yang bisa dibakar. Masyarakat dengan tertibnya akan memilah-milah jenis sampah dan membuangnya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Kebersihan
Kebersihan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang. Kebersihan di jalan, pasar, dan kendaraan umum, terpelihara dengan baik setiap hari. Saat beraktivitas di luar rumah kita tidak perlu khawatir apabila ingin membuang air kecil/besar, karena seluruh toilet umum yang tersebar di stasiun, taman, bandara dan tempat umum lainnya dapat kita nikmati dengan nyaman dan bersih. Sudah menjadi suatu aturan tak tertulis di Jepang bahwa setelah kita menggunakan toilet, maka kondisi kebersihan toilet harus tetap kering dan bersih, sebagaimana kondisi toilet sebelum kita gunakan. Hal ini dilakukan agar orang yang akan menggunakan toilet setelah kita, dapat merasakan kenyamanan dan kebersihan seperti yang kita rasakan.
Sabar
Selama 7 bulan tinggal di Tokyo, sangat jarang saya melihat orang Jepang yang marah atau emosi terhadap sesuatu hal, apalagi sampai timbulnya perkelahian. Tidak ada supir angkutan yang berteriak dengan makian, tidak ada orang yang marah karena badannya tersenggol oleh orang lain saat di kereta api. Bahkan pernah suatu ketika saya melihat 2 mobil taksi bertabrakan di sebuah lampu merah di Tokyo. Kedua supir taksi tersebut lalu keluar dari mobilnya masing-masing dan saling berbicara dengan sopan dan suara yang lembut. Selanjutnya salah satu supir taksi menelpon polisi, yang tidak lama kemudian petugas polisi datang dan menyelesaikan permasalahan ini sesuai ketentuan.
Bersyukur dan ikhlas
Orang Jepang senantiasa mensyukuri segala sesuatu yang telah dimilikinya. Inilah yang membuat masyarakat Jepang dalam bekerja selalu penuh semangat, ikhlas, dan terlihat menikmati pekerjaannya , apapun jenis pekerjaannya. Pelayan toko, supir bis, petugas parkir, cleaning service, mereka semua saya perhatikan melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Tidak terlihat kesusahan di raut wajah mereka, meskipun mungkin saat itu mereka sedang menghadapi permasalahan ekonomi. Bagi pekerja seperti mereka, biaya hidup di Tokyo yang merupakan kota termahal di dunia pastilah cukup berat dirasakan, karena umumnya gaji mereka sebesar standar upah minimum. Saya ianpernah menanyakan kepada seorang wanita petugas cleaning service di gedung perkantoran tempat saya bekerja, namanya Tatsuno Kimiki. Saya bertanya kepadanya mengapa dalam bekerja setiap harinya, dia selalu terlihat gembira dan bersemangat. Wanita itu menjawab bahwa dia sangat senang, menikmati, serta mensyukuri pekerjaannya, sehingga dia melakukannya dengan ikhlas dan bersungguh, meskipun gaji yang diterimanya tidaklah seberapa.
Toleransi
Mengemudikan kendaraan di Tokyo bagi saya sangat menyenangkan. Hal ini selain dikarenakan kepatuhan pengguna jalan terhadap lalu lintas, juga ditambah lagi dengan rasa pengertian dan toleransi sesama pengguna jalan. Suara klakson mobil bisa dikatakan hampir tidak pernah terdengar, karena semua pengendara selalu bertoleransi sesama. Sebagai contoh saat saya akan berpindah lajur jalan, maka dengan segera pengendara lain yang berada di lajur tersebut akan berhenti atau mengurangi kecepatan kendaraannya untuk memberikan saya kesempatan berpindah lajur. Sikap toleransi masyarakat Jepang lainnya juga terlihat saat kita menggunakan kendaraan umum seperti bis atau kereta api. Semua penumpang akan menonaktifkan nada (silent) telepon genggamnya, dan menghindari berbicara di telepon kecuali bila mendesak. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu ketenangan penumpang lainnya.




BUDAYA ANTRI DI NEGARA KITA
Marilah kita melihat sejenak ke bangsa kita. Sudahkah kita menerapkan budaya antri yang baik? Saya rasa semua sepakat menjawab: Belum. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan kebobrokan budaya antri kita. Contoh yang paling sering kita jumpai dan hampir ada setiap tahun adalah ketika hari Idul Adha ketika pembagian jatah hewan kurban. Selalu dan tidak pernah tidak terjadi kericuhan. Akibatnya banyak warga yang terluka dan bahkan tidak jarang ada yang tewas. Contoh paling anyar adalah ketika antri tiket final sepakbola SEA Games 2011 yang terjadi kericuhan hingga menyebabkan korban tewas 2 orang karena terinjak-injak.
Budaya antri di Indonesia seperti sebuah kebalikan dari budaya antri di luar negeri, khususnya bangsa barat dan bangsa Jepang. Di negara kita tercinta ini, kecurangan dan egoisme seperti sudah mendarah daging. Dapat kita ambil contoh di kehidupan sehari-hari, ketika di pasar misalnya, ketika kita membeli sayuran kemudian ada ibu-ibu yang menerobos sambil menjulurkan uangnya kepada penjual, dan biasanya sambil berkata, “Tulung diselakne dhisik” atau dalam bahasa Indonesia-nya, “Tolong didahulukan”. Hal semacam ini telah mengakar kuat pada warga Indonesia. Contoh yang saya berikan diatas adalah contoh cara paling sopan menerobos antrian. Bisa dibayangkan betapa bobroknya budaya antri yang kita miliki. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa seolah-olah mereka(orang yang suka menerobos antrian) bangga dengan “kemampuan” yang mereka miliki. Bahkan tidak sedikit pula yang mengajarkan cara-cara menerobos dan mengacaukan antrian kepada anak-anak mereka.
Padahal menurut kami budaya antri adalah budaya yang semestinya dijunjung tinggi oleh setiap individu, setiap lapisan masyarakat di suatu negara. Andai saja mereka paham dan mengetahui bahwa prinsip-prinsip budaya antri dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat memberikan efek yang luar biasa positif bagi suatu bangsa. Budaya antri yang telah mengakar tentu memiliki nilai yang sangat berharga, oleh karena itu besar harapan kami agar bangsa ini mampu mengubah ke-iri-annya dan kekagumannya terhadap bangsa barat menjadi sebuah cambuk dan motivasi untuk menerapkan dan menjalankan prinsip budaya antri di kehidupan sehari-hari. Dengan ditandai tertibnya antri dan bebas dari kericuhan maka Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tahu norma dan memiliki kebersamaan serta sosial yang besar.
Memang tidak mudah untuk mengajak masyarakat dan mengubah pola pikirnya terhadap budaya antri, khususnya di Indonesia. Mereka terlanjur beranggapan negatif terhadap kata ANTRI. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa antri adalah hal yang tidak mengenakkan, membosankan dan membuang-buang waktu. Memang mereka ada benarnya juga karena hal-hal itulah yang juga akan kita temui dalam antrian.
Namun disini poin utamanya adalah sikap kita dalam menghadapi problem-problem dalam antrian itu. Bagaimana kita mengatur pikiran, mengendalikan emosi, dan memakai kecerdasan untuk menempatkan diri sesuai dengan tempatnya. Hal-hal inilah yang menunjang nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam antri.

ASPEK-ASPEK BUDAYA ANTRI
Terdapat alasan yang kuat mengapa budaya antri yang baik di negara-negara maju, khususnya negara barat dan Jepang dapat membuat kagum bangsa lain. Hal itu dikarenakan tidak lain karena terdapat aspek-aspek istimewa yang terkandung dalam budaya antri tersebut. Aspek-aspek dalam budaya antri tersebut menunjang kemajuan pola pikir dan kemajuan kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa.
Dalam budaya antri mengandung aspek kedisiplinan. Tentu saja dalam antri kita dituntut bersikap disiplin. Tidak ragu terhadap keputusannya dan mantap menjalani antrian. Aspek kedisiplinan juga ditunjang dengan aspek tanggung jawab. Artinya orang antri harus dapat mempertanggungjawabkan posisinya. Mampu mempertahankan posisi dan berusaha keluar dari pengaruh buruk yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Selain kedisiplinan dan tanggung jawab, budaya antri juga mengajari kita menjadi dewasa.
Dewasa dalam arti kita dibimbing untuk berpikir bahwa masalah tidak benar-benar selesai dengan jalan curang. Kita dipaksa berpikir dewasa bahwa dengan sedikit menunggu dan sedikit belajar, pasti akan datang juga waktunya bagi kita. Dengan kata lain, belajar menjadi dewasa sama dengan memajukan pola pikir dan intelegensi. Dengan budaya antri kita dapat memahami bahwa dengan menyatukan pola pikir maka kita akan dapat membangun pondasi yang kuat untuk Indonesia yang sejahtera.
Selain itu aspek yang lainnya adalah respek. Dalam budaya antri kita diajari untuk toleransi terhadap yang lainnya. Kita harus belajar respek. Dengan adanya respek maka akan muncul perasaan iba dengan penderitaan orang lain. Dengan toleransi maka akan tumbuh perasaan saling memahami bahwa semua dihadapkan dalam kondisi yang sama. Dengan respek pula kita dapat menilai bahwa dengan antrian yang baik maka proses menggapai tujuan akan berjalan lancar.
Apabila membicarakan budaya antri maka terasa kurang apabila tidak membahas kesabaran. Antri sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Orang yang tidak mau antri maka dapat dikatakan dia orang yang tidak sabar. Dalam hal ini tidak sabar dapat disebabkan oleh berbagai alasan, mungkin karena situasi pikiran yang kondusif, namun bisa juga karena memang sedang dikejar-kejar waktu dan dalam jadwal yang padat.
Namun yang pasti orang-orang semacam itu tidak dapat mengendalikan pikiran dan emosinya sehingga mendapat kesan selalu terburu-buru. Dan orang seperti adalah orang yang paling tidak suka melakukan budaya antri. Dan akibatnya akan timbul pemikiran-pemikiran jahat dan menyebabkan kerusakan-kerusakan barisan antrian dan lain sebagainya. Banyak sekali aspek atau nilai yang dapat kita ambil dari budaya antri. Namun nilai utama dan yang paling utama adalah bahwa budaya antri mengajari kita tentang PERSAMAAN. Budaya antri tidak mengenal gender, jabatan, agama, ras atau warna kulit. Budaya antri membuka mata kita bahwa semua orang itu sama, memiliki hak dan kewajiban untuk memperoleh sesuatu, tidak peduli latar belakangnya. Sikap menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan inilah yang sangat jarang kita temui di negeri tercinta ini.
Di Indonesia masih banyak orang gila akan harta, gila akan jabatan, gila akan kesenangan dunia yang lain. Mereka lupa dan mengabaikan orang-orang di sekelilingnya, bahwa orang-orang itu juga memiliki hak yang sama meskipun tidak memiliki kesempatan yang sama. Mereka seakan-akan menganggap kasta itu bagian penting dalam kehidupan. Sehingga mereka, orang Indonesia, memuja-muja jabatan.
Mencari segala cara agar dapat mendapatkan jabatan yang tinggi. Itu semua dikarenakan timpangnya budaya antri di Indonesia. Mereka menganggap rendah lain, dan berpikir bahwa dengan jabatan yang tinggi dapat memperoleh apa yang diinginkan lebih mudah daripada orang lain.
Selain mengajari kita pentingnya memahami persamaan, budaya antri mengajari kita STEP BY STEP. Artinya bahwa dengan antri kita dapat memahami bahwa untuk menggapai sebuah tujuan tidak bisa secara instan.

“Kita bangsa Indonesia itu punya sifat penerobos, maunya cepat.”Mochtar Lubis. Dalam sebuah antrian ada orang yang berada didepan dan juga berada di belakang. Dalam hidup kita harus melalui rintangan demi rintangan, sedikit demi sedikit, dan dengan kesabaran dan ketekunan yang baik maka kita akan dapat meraih tujuan yang kita inginkan. Namun jangan lupa bahwa ada orang dibelakang kita. Artinya bahwa ada orang yang memiliki hak yang sama namun belum memperoleh kesempatan yang sama dengan kita. Jadi dalam budaya antri kita diajari bahwa perjalanan kehidupan adalah sebuah proses step by step, bit by bit and little by little.

C.   KESIMPULAN
MARILAH BUDAYAKAN ANTRI
Perlu adanya kesepakatan bersama dalam membudayakan antri di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Perlu sosok atau sekelompok yang punya pengaruh kuat di setiap lapisan masyarakat utamanya lapisan bawah untuk melestarikan budaya antri di lingkungan masyarakat. Mengingat sangat sulitnya menyadarkan seseorang terhadap sesuatu yang telah mengakar dan tertanam dalam di dalam pola pikir manusia, maka kami menyimpulkan bahwa untuk melestarikan budaya antri di Indonesia seperti halnya di negara Barat sangat sulit sehingga tidak dapat secara instan. Hal ini dalam dilakukan bertahap dan tidak terburu-buru asalkan sesuai dengan tujuan.
Dalam menggerakkan budaya antri, peran pendidik maupun calon-calon pendidik dapat dimaksimalkan mengingat masa depan bangsa Indonesia juga sangat dipengaruhi kualitas pendidik di negara ini. Pendidik harus menanamkan budaya antri dalam dirinya terlebih dahulu sebelum menanamkan budaya antri pada peserta didiknya. Dengan memberikan contoh tindakan yang nyata maka akan sangat efektif memberikan pengajaran pada peserta didik pentingnya memiliki aspek-aspek budaya antri.
Queuing culture has become one of the strengths of the western nations and Japan. Therefore, it is important to us as Indonesian people, to imitate and promote the culture of the queue. Culture of queuing contains a very positive value for the social life of a nation. One of them is to teach us about the importance of living in an EQUALITY. In addition, the culture of queuing also gives us a philosophy of life, that in order to achieve a success it must be step by step, can not instantaneously.
To bring the culture of queuing up to Indonesia then need some way. One is through a person or group who has a strong influence in society. This can be achieved through the educators in Indonesia. They are responsible for the nation's future. But the best way is to improve yourself. Culture of queuing has many benefits for human progress, because of it, let's start from now to civilize the queuing.